Rabu, 9 Mei 2012 16:27 wib Puan Maharani

BOGOR - Ketua Fraksi PDIP DPR Puan Maharani mengungkapkan akan ada calon presiden baru yang akan diusung partai pada 2014 mendatang.

“Nanti akan ada calon dari DPP, tapi tentunya terserah ketua umum karena hak prerogatif dia,” ujar Puan di acara dialog dengan mahasiswa Akademi Sampoerna di Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (9/5/2012).

Puan enggan berkomentar saat ditanya dirinya yang akan mengisi calon presiden tersebut. Dia menambahkan, penentuan calon akan ditentukan ketua umum berdasarkan integritas dan elektabilitasnya.

Sementara itu, di tempat yang sama, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, enggan berkomentar. “Nanti ya di kantor DPP,” ucap mantan Presiden RI itu.

Dia hanya mengisyaratkan akan ada pembahasan tingkat DPP untuk menentukan siapa yang akan maju dalam pemilihan presiden tersebut.

Seperti diberitakan, pada 21 April lalu, Megawati mengatakan berminat mengusung anaknya, Puan Maharani, sebagai Capres pada 2014 mendatang. Pernyataan itu disampaikan saat menyampaikan pidato politik di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.

http://news.okezone.com/read/2012/05/09/339/626639/megawati-isyaratkan-segera-bahas-capres-dari-pdip
 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - UU Pemilu yang disahkan oleh DPR RI, menurut Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto, mengabaikan prinsip pemilu demokratis dan melanggar konstitusi.

"Pemberlakuan ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold, secara nasional, baik untuk memilih anggota DPR maupun anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pada titik inilah RUU Pemilu mengandung masalah besar," ujar Didik dalam jumpa pers yang digelar di Bakoel Coffee Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2012).

Didik menjelaskan, penetapan ambang batas nasional untuk memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, juga merupakan kejahatan politik luar biasa. Sebab, ketentuan tersebut menghilangkan atau merusak keaslian hak pilih warga negara.

Didik menerangkan, disebut kejahatan politik, lantaran warga negara memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, yang diukur melalui pemilihan anggota DPR.

"Lalu apa artinya pemilih menggunakan tiga surat suara berbeda, yaitu kuning untuk memilih DPR, biru untuk memilih DPRD provinsi, dan putih untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota? Jika, yang jadi tolok ukur untuk menentukan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota hanya surat suara kuning," tutur Didik.

Sementara, besaran ambang batas 3,5 persen suara nasional juga berpotensi melanggar konstitusi, lantaran angka tersebut akan menaikkan jumlah suara terbuang, sehingga bisa meningkatkan indeks disproporsionalitas.

"Jika indeks disproporsionalitas tinggi, maka hasil pemilu tidak proporsional. Padahal, pemilu anggota legislatif menggunakan sistem pemilu proporsional sebagaiamana diatur dalam pasal 22E ayat (3) UUD 1945," beber Didik.

Atas dasar itulah, Perludem akan membawa persoalan UU Pemilu ini ke Mahkamah Konstitusi, karena melanggar pasal 22E ayat (1), ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. (*)