Wahyudi Siregar - Okezone Selasa, 12 Juni 2012 20:27 wib
MEDAN
- Penurunan harga ekspor produk karet Indonesia jenis SIR 20 menjadi USD2,849 per kilogram (kg) hari ini, membuat sejumlah pengusaha karet di Sumut bingung mengambil sikap.

Pasalnya, penurunan harga itu lebih dipengaruhi oleh situasi krisis ekonomi di Eropa, dan bukan karena faktor dalam negeri. Sementara itu importir dari sejumlah negara juga belum memberikan kepastian hingga saat ini.

"Iya, harga ekspor SIR 20 sudah di bawah USD3 per kg untuk pengapalan Juli mendatang. Meski sempat mencapai USD3,654 pada 27 Mei lalu, namun tren harganya terus menurun. Kita bingung, karena lazimnya saat harga karet terkoreksi cukup signifikan, badan karet Indonesia, Malaysia, dan Thailand akan mengurangi atau menahan volume ekspor. Hingga saat ini belum ada semuanya masih wait and see. Mungkin karena ini dampak krisis dan bukan karena spekulan, makanya semua ragu-ragu,” terang Sekretaris Eksekutif Gabungan Pengusaha Karet Indonesia (Gapkindo) Sumatera Utara, Edy Irwansyah, Selasa (12/6/2012).

Anjloknya harga ekspor karet, diakui akan langsung berpengaruh pada harga di pabrikan lokal. Dengan kondisi tersebut, maka petani menjadi pihak yang paling merugi karena harga jual karet mentahnya menjadi lebih murah. Sementara pabrik masih mampu mendapatkan keuntungan dari selisih harga jual antara bahan olahan dan karet ekspor.
"Saat ini tercatat harga Bahan Olahan Karet (BOKAR) di tingkat pabrik hanya Rp21.700-Rp23.700 per kg. Padahal di bulan lalu, harganya masih berkisar di Rp28.300-Rp30.300, kalau begini terus petani yang kasihan," tambahnya.

Edy juga memprediksi anjloknya harga ini masih akan terus berkepanjangan, hingga akhir Juli. Karena situasi pasar menunjukkan kondisi keuangan Eropa masih sangat sulit untuk pulih. Peningkatan dinilai baru akan terjadi jika ada aksi beli dari negara-negara importir besar.

"Saya pikir trennya sekarang di kisaran USD2,8 per kilo, kecuali China seperti kemarin, permintaannya tinggi. China pun sepertinya terkena dampaknya, karena ekonomi mulai lesu," katanya.

Pemerintah dinilai perlu segera mengambil langkah untuk mengubah situasi ini, khususnya untuk menyelamatkan petani karet, dari keterpurukan yang lebih dalam lagi.

Dampak paling pragmatis ketika pemerintah tidak mengawal harga karet ini, maka konversi lahan karet ke Sawit secara besar-besaran akan sulit dielakkan dan tentunya merugikan seluruh pihak. (ade)
 
JAKARTA - Indonesia dinilai sudah masuk dalam tahapan krisis. Tanda-tanda tersebut terlihat dari pelemahan rupiah, penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), dan penipisan likuiditas valas yaitu dolar Amerika Serikat (AS).

Hal tersebut disampaikan Ketua Perhimpunan Bank-Bank Umum Nasional (Perbanas) Sigit Pramono. Bahkan, selain indikasi tersebut, dampak krisis juga terlihat dari neraca perdagangan, ekspor lebih rendah dibandingkan impor.

"Dari tiga indikasi tadi, menurut saya kita sudah krisis sekarang, kita waspada, bagi bank kita harus hati-hati kalau bisa mengurangi percepatan dalam pemberian kredit," ujarnya usai press conference Jazz Gunung 2012, di Jakarta, Selasa (12/6/2012).

Menurut Sigit, upaya yang perlu dilakukan perbankan sebagai antisipasi menghadapi krisis adalah dengan memperlambat penyaluran kredit, terutama dalam valas (USD). Bank juga dituntut dan mau tidak mau harus hati-hati, dan jangan menambah kredit karena risiko akan bertambah. Selain itu, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan) harus dimonitor "Itu yang harus dilakukan bank," ujarnya.

Selain itu, Sigit berharap pemerintah sudah harus segera duduk bersama melakukan simulasi melalui beberapa manajemen protokol krisis yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Keuangan, BI, LPS dan OJK melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK).

"Harus disinkronkan dari sekarang. Krisis sudah masuk ke kita, bukan ancaman lagi. Krisis tidak bisa dihindari yang kita lakukan adalah antisipasi dampak. Semua dari pemerintah, regulator, pelaku harus siap-siap untuk bisa menghadapi krisis," tegasnya. (Erichson Sihotang /Koran SI/ade)