TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - UU Pemilu yang disahkan oleh DPR RI, menurut Ketua Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Didik Supriyanto, mengabaikan prinsip pemilu demokratis dan melanggar konstitusi.
"Pemberlakuan ambang batas perwakilan atau parliamentary threshold, secara nasional, baik untuk memilih anggota DPR maupun anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Pada titik inilah RUU Pemilu mengandung masalah besar," ujar Didik dalam jumpa pers yang digelar di Bakoel Coffee Cikini, Jakarta Pusat, Jumat (13/4/2012).
Didik menjelaskan, penetapan ambang batas nasional untuk memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, juga merupakan kejahatan politik luar biasa. Sebab, ketentuan tersebut menghilangkan atau merusak keaslian hak pilih warga negara.
Didik menerangkan, disebut kejahatan politik, lantaran warga negara memilih anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota, yang diukur melalui pemilihan anggota DPR.
"Lalu apa artinya pemilih menggunakan tiga surat suara berbeda, yaitu kuning untuk memilih DPR, biru untuk memilih DPRD provinsi, dan putih untuk memilih anggota DPRD kabupaten/kota? Jika, yang jadi tolok ukur untuk menentukan anggota DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota hanya surat suara kuning," tutur Didik.
Sementara, besaran ambang batas 3,5 persen suara nasional juga berpotensi melanggar konstitusi, lantaran angka tersebut akan menaikkan jumlah suara terbuang, sehingga bisa meningkatkan indeks disproporsionalitas.
"Jika indeks disproporsionalitas tinggi, maka hasil pemilu tidak proporsional. Padahal, pemilu anggota legislatif menggunakan sistem pemilu proporsional sebagaiamana diatur dalam pasal 22E ayat (3) UUD 1945," beber Didik.
Atas dasar itulah, Perludem akan membawa persoalan UU Pemilu ini ke Mahkamah Konstitusi, karena melanggar pasal 22E ayat (1), ayat (3) dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945. (*)